Tag
abel or zeck, from east to east, FROTEAST, Indonesia, Islam, Islam bukan teroris, opini, Sejarah, Sejarah kemerdekaan
Pada tahun 1916 Masehi, Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan HOS. Tjokroaminoto memimpin National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama. Maka setelah itu mulailah dikenal istilah Nasional, kata yang memiliki arti bersifat kebangsaan.
Nasionalisme adalah sebuah kata yang masih asing bagi Nusantara kala itu. Dari mulai datangnya agama Hindu – Budha yang berasimilasi di Nusantara, sejarah telah mencatat banyak sekali kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Kecuali kadatuan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit yang banyak menghimpun kerajaan-kerajaan di Nusantara, namun ketika keduanya runtuh kerajaan-kerajaan yang terhimpun menjadi tak terbendung dan mendeklarasikan lagi nama dan wilayah baru kerajaan mereka. Belum lagi ketika pergantian kekuasaan, perang saudara, perluasan wilayah kerajaan lain dan agama pun menjadi doktrin bagi kerajaan hingga banyak candi, pura, patung, arca yang diruntuhkan atau dibangun ulang oleh penguasa baru (dari berbagai sumber, pen).
Memang barangkali bukan hanya kerajaan-kerajaan yang membuat fakta sejarah simpang siur lewat perusakan bukti-bukti yang mungkin bisa menjadi sejarah saat ini. Namun kegemaran kita sendiri yang menyemu berbagai bukti. Sebagai contoh: Pada masa peralihan pemerintahan dari tangan penjajah ke tangan bangsa Indonesia yang memang melalui jalan terjal. Banyak bukti sejarah bahkan bangunan-bangunan strategis yang kita hancurkan. Atau ketika masa kejatuhan Orde Lama, pemerintahan baru saat itu menyiasati sejarah bahkan lebih buruk lagi membakar buku-buku dan memberendel baik itu dari dari kalangan ulama yang diduga radikal atau dari golongan yang disangka kiri. Lalu kini, kita pun seakan mendustai apa yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru.
Bagi Bangsa Indonesia, masa kerajaan adalah salah satu kekayaan sejarah yang dimiliki. Saling bertolak belakang namun saling berkesinambungan ibarat benci tapi cinta bagi berbagai wilayah kerajaan saat itu. Wilayah pertanian, peternakan dan perdagangan jalur laut menjadi penghubung bahkan ingin dikuasai mutlak oleh pelbagai pihak. Dan hubungan antara berbagai pihak itu sebagai gantinya melahirkan sebuah bahasa mayoritas di antara saudagar-saudagar tersebut, yaitu bahasa Melayu yang merupakan cikal-bakal bahasa Indonesia.
Lalu kapankah awal mula istilah Indonesia yang kemudian dikenal sebagai nama dari Negara kita ini muncul? Adalah Dr.Soekiman Wirjosandjojo yang mengubah Indische Vereniging menjadi Perhimpoenan Indonesia pada tahun 1925 Masehi. Kemudian beliau pun mengganti majalah Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka.
Perlu diketahui bahwa Dr.Seokiman Wirjosandjojo aktif dipelbagai organisasi Islam kala itu, di antaranya Partai Sjarikat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, dan Partai MASJOEMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia – MASYUMI, pen). Selain beliau, banyak pula orang-orang dari partai Islam bahkan ulama yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia kala itu, pun beberapa dari mereka sebagai perumus Pancasila dan UUD 1945.
Setelah semua itu, mengapa Islam yang notabene adalah agama mayoritas dan berjasa besar atas tercapainya kemerdekaan menjadi terdiskreditkan dari bangsa Indonesia itu sendiri? Ini merupakan pertanyaan yang sulit jika kita hanya berkaca dari layar kaca. Tuan, Puan dan anda sekalian pasti mengerti dewasa ini banyak berita mengenai teroris yang sangkanya melulu identik dengan Islam. Kita tak bisa membela atau menuduh sesuatu hal yang tidak kita ketahui kebenarannya, apakah itu Islam atau siasat untuk menjatuhkan Islam? Saya di sini berbicara sebagai pribadi yang resah, selepas beragam hal menimpa agama yang saya yakini.
Ada beberapa pertanyaan besar yang selalu menggelayuti pikiran selama ini. Terorisme berasal dari kata ‘teror’ yang berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Lalu ‘isme’ merujuk pada kepercayaan dan penggunaan. Saat ini Negara mana yang tidak menjadi gentar dan ngeri dengan kekuatan perang Amerika? Ditambah kesaktian hak veto dalam meyakinkan suatu hal di hadapan Persatuan Bangsa Bangsa, belum lagi kekuatan media yang masuk dan beranak-pinak bahkan di negara-negara kecil. Ketika mendengungkan kata ‘basmi terorisme’ atau ‘hancurkan senjata pemusnah massal’, hampir semua negara mengamini mereka. Sebagaimana mereka menyerang Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal? Lalu apa kabar senjata tersebut? Tidak ada atau telah dikuasai mereka? Dan ketika mereka menyerang Afganistan dengan alasan agar tak diserang Taliban. Bukankah mereka Negara digdaya dengan kekuatan militer hebat, bahkan dalam perang? Semudah itukah diserang? Mirisnya, itu semua dilakukan pada negara-negara Islam.
Dan anehnya lagi, kita diam. Sebagaimana dengan yang terjadi di Palestina yang terus dirongrong Israel. Mereka yang mencaplok itu terus terlindungi. Malah tak tersemat pada mereka kata ‘terorisme’ apalagi ‘penjajah’. Kita tetap diam.
Kita sebetulnya pasti mengerti yang ‘hak’ dan ‘batil’. Bukankah Islam adalah agama Rahmatan lil alamin ‘rahmat bagi seluruh alam’. Berbelas kasih terutama bagi saudara kita sendiri. Ah, bahkan Islam mengatur agar kita adil dalam berdagang, pada para petani, peternak, nelayan, agar mereka mendapat hak semestinya, seperti dalam Firman-Nya, “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.S. Ar-Rahman:9). Sudah semestinya kita pun menyikapi banyak masalah dengan adil, tidak terbawa stigma, seperti sering ada dalam ayat-ayat bahwa dunia ini terbuka jelas bukan hanya bagi orang muslim namun bagi orang yang berakal, berpikir, mengerti, paham. Sering pula kita berdoa Robbi zidni ilman warzukni fahman ‘Ya Robbi, berilah kami ilmu dan anugrahkan kami pemahaman’.
Semoga kita selalu berbagi kasih, berhati bersih, berpikir jernih. Wallohu a’lam bishawab.
Salam
A o Z