Lubang sempit, gelap, basah, bau, tapi menyenangkan. Maaf jika cerita ini mengecewakan anda, bahwa kami di sini bukan membahas tentang keelokan gadis desa. Namun itulah kata-kata yang kulontarkan ketika kami selesai explorasi dan simulasi pemetaan gua-gua di daerah Tasikmalaya.
Memang bisa dibilang beberapa hari yang kami lalui dengan explorasi dan simulasi pemetaan di gua sangat menantang dan menyenangkan. Contohnya di hari terakhir ketika kami menelusuri gua Cukang lemah, tim yang telah selesai simulasi pemetaan dengan melewati dua chamber untuk mengukur kemiringan, menampilkan arah, dan kondisi di lorong gua mulai menelusuri lorong-lorong sempit yang hanya bisa dilalui oleh merangkak.
Dengan kondisi banyaknya pula kelelawar yang sedang tidur membuat suasana semakin menyeramkan, tapi bagai Batman yang berteman dengan kelelawar para anggota tim tetap bergerak maju acuhkan rasa takut.
Jum’at malam setelah hujan reda sekitar pukul 21.20 tim yang terdiri dari anggota MAPENTA (Unisba), MATASPALA (STIE Ekuitas), dan FROM EAST TO EAST berangkat menuju Tasikmalaya untuk simulasi pemetaan dan penelusuran gua. Tak ada hambatan berarti yang menimpa tim selama diperjalanan, hanya ketika berada di daerah Rancaekek banyak lubang-lubang besar yang membuat pacu kendaraan kami sedikit terhambat. Tadinya aku kira lubang-lubang itu juga adalah mulut gua yang bisa kita explore karena lubang-lubang itu sangat besar, mungkin hal ini adalah saran bagi pemerintahan setempat untuk memperbaiki infrastruktur jalan yang memang kesehariannya sering tergenang banjir dan dilewati oleh kendaraan-kendaraan berat.
Bintang dan bulan terlihat menghiasi langit malam yang cerah kala kita memasuki daerah Puspa hyang, atau sekitar 3 jam sebelum tempat tujuan. Mulai terlihat vegetasi pohon kelapa di sekeliling jalan utama yang menandakan kita juga telah dekat dengan daerah pantai. Pukul tiga pagi tim akhirnya sampai di rumah salah seorang perintis MAPENTA, pak Ade namanya.
Rumah berdinding bambu, kursi dari kayu, alat masak dari tungku, bukan karena dia miskin dan tidak berpendidikan hingga dia memiliki rumah sederhana yang mungkin oleh sebagian orang akan disebut kuno, namun dari asrinya halaman rumah dan beras organik yang dia sediakan bagi kami, aku yakin beliau tahu cara memperlakukan alam dengan baik. Sambil menunggu subuh datang, sebagian tim berbincang-bincang dengan pak Ade membahas berbagai hal termasuk informasi gua yang baru ditemukan di daerah situ dan berjanji beberapa minggu lagi sebagian anggota tim akan datang khusus untuk explore dan pemetaan gua tersebut.
Pagi datang menyela istirahat sejenak kami, selesai sarapan dan mempersiapkan alat-alat kami pun berangkat menuju gua Ciguha dengan berjalan kaki melewati jalan berbatu dan pematang sawah. Satu jam kemudian tim sampai di mulut gua yang tergenang air yang mengalir dari dalam gua. Mulut gua Ciguha tersambung dengan drainase yang mengalir ke pesawahan penduduk tanda bergunanya air dari gua tersebut untuk keperluan penduduk sekitar.
Menyusuri arah berlawanan dengan aliran air kami memasuki gua ciguha. Lorong yang sempit membuat kita harus berjalan jongkok untuk memasuki gua tersebut, belum ditambah genangan air yang kadang membuat kami harus menyelam membuat adrenalin sedikit terpacu walau jarak lorong yang berair itu kurang dari sepuluh meter sebelum memasuki lorong yang bisa dilalui dengan berdiri.
Dari mulai titik ini barulah mulai terlihat jelas interior gua dari mulai plafon sampai floor gua. Sepanjang lorong gua akan kita temukan berbagai jenis interior seperti stalagtit, stalagmit, microgourdam, makrogourdam, sodastraw, pilar, gourdyn dan masih banyak lagi interior lain yang bisa kami temukan di sana.
Selama menelusuri gua, aku melihat ada celah sempit di bawah batu-batu yang kami pijak, dan saat melihat dari dekat ternyata dari celah itu mengalir aliran air yang sangat deras. “Tersambung kemana air itu?” aku bertanya-tanya dalam hati.
Panas matahari tak menyurutkan langkah tim yang akan menuju gua batu badak dari desa terakhir. Kali ini rumah pak Memed salah seorang warga disana yang kita jadikan home base. Gua batu badak merupakan gua vertikal dengan ketinggian sekitar 37 meter, tim pendahulu memasang lintasan single rope technique (SRT). Pemasangan rigging SRT di gua batu badak menggunakan back up anchor dua meter dari mulut gua yang disambungkan dengan simpul playboy dan membaginya menjadi 2 tali, satu tali terpasang ke main anchor di mulut gua, dan yang lain tersambung ke pitch sekitar 10 meter di bawah untuk pemasangan SRT berikutnya setelah pitch hingga ke floor atau dasar gua.
Sore itu kami membuat basecamp, membuat api dan makan sedikit singkong dari hutan. Menurut pak Memed, “di sini mah kebun kami (warga). Jadi singkong, pisang, ditanam sendiri oleh kami dan boleh di ambil.” Memang aku sendiri berpendapat bahwa selama hutan ini diurus dengan baik, di sini memang kebun liar warga yang berhektar-hektar luasnya.
Lalu kami mulai memasang harness, alat ascending, descending. Tiba giliranku turun, sampai di pitch aku beristirahat sambil melihat sekitar. Terlena melihat aliran air yang meluncur ke bawah, kaget aku melihat Afdhal naik ke pitch, “cape juga ya ternyata, baru juga segini.” Panji dan aku yang tengah berada di pitch menawarkan dulu istirahat pada Afdhal, namun dia berkata tanggung dan langsung menuju mulur gua. Tak lama berselang Angga datang dari mulut gua membawa peralatan untuk cadangan kami, tapi belum sempat sampai pitch, tiba-tiba dari atas terdengar batu menggelinding dan teriakan “ROCK.. ROCK.. BATU.. BATU.. AWAS!” dan batu itu melintas satu meter di hadapan kami.
Sampai di floor, lorong gua kembali menyempit dan hanya bisa dilalui dengan merangkak. Setelah merangkak, menunduk, jalan bebek melewati lorong di gua batu badak akhirnya kami sampai di sebuah chamber yang cukup besar dengan interior yang indah. Seperti rumah berlantai dua, jalan dari chamber itu juga ada yang menuju ke atas. Memang bisa dibilang selain jalan utama yang kita telusur, banyak pula jalan dengan celah yang lebih sempit entah menuju kemana, sebuah PR besar menanti kami untuk coba terus menelusur gua ini. “Gimana, mau lanjut?” Ujar Gina setelah melihat-lihat sekeliling chamber. “Katanya sih setelah chamber dan jalan terus melewati lorong itu, kita akan keluar dari mulut gua yang satu lagi!” Mubiar berkata sambil menunjuk lorong sempit di hadapan kami.
Kami memasang tali webbing sebagai pengaman pada pohon yang ada di sekitar jalan yang menuju mulut gua Cukang lemah, dengan ketinggian sekitar 10 meter dan kemiringan 60 derajat. Memang secara kasat mata mulut gua yang sedikit menurun ini bisa dilalui tanpa bantuan apapun, namun tim tidak ingin mengambil resiko meloncat-loncat seperti spiderman tanpa memasang pengaman atau setidaknya tali yang bisa dipegang sebagai pembagi beban tubuh.
Breafing dilakukan di bawah sorot matahari yang memancar melewati celah-celah rimbunnya pohon yang mengelilingi gua, “cahaya syurga!” Sebut Towok dan Angga atas fenomena tersebut. Tim dibagi menjadi dua untuk mengukur gua Cukang lemah tersebut. Alat-alat pemetaan berupa klinometer, kompas, kertas kerja, meteran dan alat-alat lain yang berfungsi sebagai penggambaran terhadap gua yang dipetakan kemudian ditenteng tim masuk menuju gua.
Pemetaan sekaligus pencatatan terhadap interior dan makhluk gua tersebut menghasilkan percakapan yang aneh di antara para anggota tim. “wih, ini laba-laba ya?” seru Vikran yang dijawab dengan isyarat ‘iya’ oleh anggota tim lain. “Tapi ini laba-laba kaya kepiting, kelab alias kepiting laba-laba mungkin?” Akhirnya pembicaraan itu berlanjut sampai pada satu kesimpulan absurd dengan dugaan logika yaitu bahwa kepiting tidak sengaja memperkosa laba-laba dan akhirnya melahirkan species baru bernama “kelab”. Jangan terlalu dipikirkan secara ilmiah, karena ini merupakan opera sabun di tengah kegiatan kami yang padat dan melelahkan.
Dengan merangkak tim melewati lorong sempit itu, dengan keadaan batu di plafon yang tidak rata dan cenderung tajam membuat badan terasa sakit. Gua Cukang lemah yang berawal dari lorong-lorong besar yang terus menyempit dengan tak henti membuat kejutan. Tim kembali harus memasuki lorong berair, dengan posisi terlentang seperti mandi di bathtub yang menyisakan lorong udara hanya beberapa centi untuk bernafas.
Setelah beberapa saat menghabiskan waktu di chamber tim kembali menyusur gua, lalu terlihat pertemuan dua aliran air yang tembus ke lorong di bawah. Dengan turunnya aliran air dari atas, lorong yang berada di bawah membentuk kolam yang sangat jernih dan segar. Namun keterbatasan alat dan waktu maka tim memutuskan untuk kembali ke basecamp.
“Sayang juga tuh enggak ke bawah, padahal bagus!” Oksa mengingat kesempatannya yang terlewat ketika tadi berada di lorong. “Indah kayaknya,” Kliwon menambahkan ucapan Oksa yang langsung disambung oleh Dilla dan Tika yang berandai-andai bisa mandi di sana.
Untuk perjalanan singkat yang dibatasi waktu, menurutku perjalanan ini cukup memuaskan. Walau masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita pelajari dan lorong-lorong yang belum kita telusuri, kesempatan mungkin akan datang kembali untuk melihat jelitanya lorong basah di Tasikmalaya. Untuk penutup, ada sebuah kalimat yang aku campurkan dari beberapa orang ketika obrolan warung kopi, “menikmati alam dan memanfaatkannya bukan berarti manusia dapat merusaknya begitu saja.”
SEDIKIT BICARA!
- Jangan caving sembarangan!
- Bila ingin melakukan penelusuran gua, lakukanlah bersama orang yang profesional karena hal ini berbahaya.
- Penelusuran gua dilarang: mengambil sesuatu kecuali foto. Meninggalkan sesuatu kecuali jejak kaki. Membunuh sesuatu kecuali membunuh waktu.