Antara sebentar berirama dengan konstan..
Deburan ombak saat itu.. terngiang..
Tak pernah kubayangkan,
dia secantik itu dalam memori..
Matahari telah condong ke arah timur ketika perahu sampan yang memuat sebagian dari kami dan barang-barang kami tiba di dermaga kayu yang kurang terawat. Kapal perintis yang kami tumpangi dari Tanjung perak ternyata tidak bersandar di pulau Kramaian, dia hanya berlabuh di sekitar pulau dan kami harus menggunakan perahu nelayan lalu dilanjut dengan perahu sampan untuk bisa sampai di dermaga kayu pulau Kramaian, terutama saat itu air laut sedang surut. Tak ayal banyak dari kami yang bertanya-tanya siklus pasang-surut air laut yang menerangkan pasang ketika petang tak berlaku di wilayah kepulauan ini. Semuanya bergantung musim angin dan bagian pulau mana tempat tersebut.
Anak di Dermaga Kayu Pulau Kramaian
Pulau Kramaian
S 05° 04′ 54.5″ E 114° 35′ 37.9″
Ditemani pak Syahril orang yang menjemput kami menggunakan perahu, kami berkenalan dengan pak Herman Kepala Desa Pulau Kramaian yang ternyata telah menunggu kedatangan kami setelah sebelumnya kami kontak dengan beliau ketika masih di kapal perintis. Sambil tersenyum beliau mempersilahkan kami untuk langsung menuju ke rumahnya. 15 menit menggunakan sepeda motor di jalan utama yang hanya selebar kira-kira 2,5 meter dengan jalanan tidak rata akhirnya kami sampai di rumah Kepala Desa Kramaian tersebut. Rumah pak Herman adalah rumah kolong dengan bak untuk mencuci kaki tepat di samping tangganya seperti kebanyakan rumah-rumah di pulau ini, dan di rumah panggung itu telah berkumpul orang-orang yang belum kami kenal kecuali pak Kepala Desa yang langsung bergabung bersama orang-orang itu untuk menyambut kami. Setelah berkenalan dengan berbagai elemen masyarakat di pulau itu kami kemudian berkoordinasi tentang maksud dan tujuan kedatangan kami sebagai tim di bidang pendidikan di Pulau Kramaian dalam acara Ekspedisi Nusantara Jaya 2015 dari pelabuhan keberangkatan Surabaya. “Jangankan punya maksud baik seperti ini. Walau cuma main dan tidak punya niat jahat insya Alloh kita terima dengan baik.” Begitu ujar salah seorang perangkat desa setempat, dan atas dasar itulah kami ditampung dengan baik di rumah pak Herman Kepala Desa Kramaian yang siap rumahnya dijadikan rumah tumpangan bagi kami.
Pulau Kramaian
Pulau Kramaian yang terletak di perairan Masalembo atau Masalembu dan terkenal karena keangkerannya dengan didaulat sebagai segitiga bermuda Indonesia itu juga pernah memiliki nama pemberian Belanda yaitu Ariandes. Nama Kramaian atau Karamaian sendiri dinobatkan orang-orang pada pulau ini didasarkan pada banyaknya kapal-kapal yang karam di dekat pulau ini. Bahkan hingga kini sering terjadi kesusahan logistik dan kebutuhan hidup ketika musim angin Barat atau yang kita kenal dengan musim hujan. Tingginya gelombang dan badai besar yang sangat berbahaya membuat kapal-kapal enggan untuk berlayar dan mengangkut kebutuhan hidup pada gugusan kepulauan di perairan Masalembu ini. Jika boleh jujur, jangankan saat musim angin Barat dengan badai dan ombak tinggi-tinggi. Saat berlayar pada musim angin timur pun kami sudah malu mengaku nenek moyang seorang pelaut namun pusing-pusing dan mabuk laut walau hanya berlayar beberapa hari di tengah ombak yang tak terlalu tinggi.
Sebelumnya lebih baik kami ceritakan dulu tentang acara ENJ 2015 ini. Ekspedisi Nusantara Jaya yang diselenggarakan oleh Kementrian Koordinasi Maritim secara umum dibagi menjadi 2 kategori:
- Kapal KRI: merupakan kapal perang Banda Aceh yang langsung diterjunkan untuk mengangkut pesertanya mengelilingi pelabuhan besar di Indonesia.
- Kapal Perintis: merupakan kapal yang berangkat dari pelabuhan tertentu di suatu kota ke pulau-pulau terpencil berdasarkan rute kapal tersebut.
Kapal Perintis Miami
Berbeda dengan persiapan kapal KRI yang megah dan besar-besaran, entah mengapa? Yang jelas media meliput dan acara ini dibuka oleh seorang petinggi negara. Kenyataannya berbanding terbalik dengan persiapan kapal Perintis di berbagai kota ini, tak ayal banyak peserta berguguran bahkan keberangkatan dengan kapal perintis di kota lain banyak yang tidak jadi. Bukan merasa di anak tirikan atau tidak merasa bahwa kami ini cuma relawan. Hanya, panitia kurang terbuka soal persiapan yang sangat keteteran dan banyak hal lain tersebut, sampai-sampai awalnya kami tidak percaya bahwa acara ini pemerintah yang menyelenggarakan. Bagaimana tidak, jadwal keberangkatan kapal perintis pun peserta yang mencari tahu apalagi soal bantuan yang diberikan, acara apa yang akan dilakukan di pulau tujuan dan lain-lain.
Tim ENJ Surabaya 2015
Namun sekali lagi, kami secara pribadi bersyukur mengikuti acara ini dan ditempatkan di kapal perintis yang langsung terjun ke masyarakat. Hanya hal-hal tadi barangkali menjadi bahan evaluasi untuk acara-acara seperti ini selanjutnya, mengatur acara dan kegiatan apa yang akan dilakukan dengan persiapan tergesa-gesa saja sudah sesuatu yang buruk, apalagi acara atas nama negara? Akhirnya leader dan beberapa orang yang kebetulan berdomisili di kota Surabaya dan sekitarnya bersepakat akan membagi peserta dalam tim kecil di 3 bidang dan setiap tim yang membawahi 1 bidang ini nantinya akan berkonsentrasi di salah satu pulau yang dilewati kapal perintis. 3 tim tersebut adalah: Tim bidang Pengolahan Ikan di Pulau Masalembo, Tim bidang Pendidikan di Pulau Kramaian dan Tim Kesehatan di Pulau Matasiri.
Selepas sholat tarawih di hari pertama Ramadhan kami evaluasi dan menyusun program untuk mengadakan acara di sekolah-sekolah yang berada di Pulau Kramaian setelah sebelumnya di hari itu kami memeriksa perlengkapan, mengadakan acara di SD Kramaian III dan makan malam bersama di rumah pak Jansyah salah satu warga yang mengadakan acara syukuran di awal Ramadhan. Satu lagi hambatan yang menyulitkan program kami di sekolah-sekolah di Desa Kramaian adalah kenyataan bahwa sekolah telah libur semester. Untungnya hari pertama bisa kami laksanakan di SD Kramaian III itu karena malam sebelumnya ada salah seorang guru dan perangkat desa bernama pak Anhar yang dapat membantu, namun untuk sekolah-sekolah lain kami harus berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak berwenang. Malam itu sebagian dari kami murung, satu hal karena hasil pembicaraan kami mengenai susunan program kerja baru 80% lembaga pendidikan menyanggupi acara di tempatnya dengan jadwal bisa berubah sewaktu-waktu, dan hal lain adalah hari pertama Bulan Ramadhan kami berada di suatu tempat yang jauh dari keluarga, sahabat atau lingkungan yang sudah dikenalnya. Sisa malam kami habiskan dengan cerita mengenai diri masing-masing yang berasal dari berbagai daerah dan lingkungan yang berbeda itu. Lalu tiba-tiba “PREEETTT…” itu bukan suara kentut seseorang, tapi kata itu menerangkan bahwa lampu di seluruh Dusun Sumber Hidup tempat pak Kades tinggal padam semua tepat pukul 10.00 Waktu Indonesia Kramaian (sekitar 30 – 45 menit lebih cepat dari WIB, red), seperti hari sebelumnya dan hari-hari setelahnya.
Berbicara dalam gelap, di rumah pak Kades.
Pukul 02.30 Waktu Kramaian dibantu oleh bu Kades yang telah bangun terlebih dulu kami memasak untuk sahur di hari pertama Ramadhan itu. Lampu menyala lagi pukul 02.00 khusus di Bulan Ramadhan agar para penduduk dapat menyiapkan makan sahur untuk keluarganya. Dengan maksud tidak ingin merepotkan kami mulai membereskan makanan dan wadah-wadah yang sudah tak terpakai sehabis sahur walau masih ada sebagian dari kami yang makan, baru beberapa hari setelahnya kami tahu bahwa adat di Kramaian untuk tidak membereskan makanan dan wadah-wadahnya ketika masih ada seseorang yang makan. Setelah tahu hal itu, malu rasanya tak bertanya dulu tentang adat istiadat di daerah yang kami singgahi ini. Dan di hari tersebut karena tidak ada jadwal ke sekolah-sekolah kami berinisiatif membagikan sembako bagi warga-warga miskin di pulau Kramaian di sore harinya, pagi hingga siang hari kami habiskan dengan jalan-jalan di sebagian pesisir pulau Kramaian.
Pulau Kramaian atau Desa Kramaian itu memiliki panjang tak lebih dari 13 km dan lebar 5 km, dan hanya memiliki 3 dusun yang bernama; Dusun Sudi Mampir, Dusun Sumber Hidup dan Dusun Alas Jaya dengan warga tercatat sekitar 4000an jiwa. Tapi menurut kepala dusun Alas Jaya, yang benar-benar tinggal pulau ini tak lebih dari 2500 jiwa dengan kebanyakan penduduk berasal dari suku Bugis dan Madura serta semua penduduknya itu beragama Islam. Selain menangkap ikan, komoditas warga di Pulau Kramaian itu adalah cabai Gresik, cengkeh dan kelapa. Hasil bumi tersebut banyak dikirimkan ke Jawa Timur dan sekitarnya, seperti cengkeh di jual ke Surabaya yang kemungkinan untuk industri rokok dan kelapa diproses dengan dikeringkan yang kemudian menjadi kopyor kopra lalu dikirim ke Madura untuk selanjutnya disebarkan lagi ke daerah lain. Namun seperti daerah terpencil lainnya, keadaan penduduk yang bisa dikategorikan miskin itu sangat banyak. Dengan sumber daya yang terbatas kami dengan menyesal tak bisa memberikan bantuan sembako kepada seluruh warga yang dapat dikategorikan miskin. Kami bersama Kepala Desa dan jajarannya berusaha memilah lagi agar ini didapatkan oleh orang yang sangat-sangat membutuhkan. Hasilnya.. selain melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan orang yang sangat-sangat membutuhkan itu, ternyata masih banyak orang dengan keadaan yang sangat memprihatinkan tak tersentuh. Suatu hari memang harus ada lagi kegiatan semacam ini dengan perhatian yang lebih, khususnya di pulau Kramaian ini, itulah harapan kami.
Keadaan salah satu penerima sembako.
Sebetulnya tak banyak misi dari kami sebagai tim di bidang pendidikan di Pulau Kramaian, tak banyak pula lembaga pendidikan resmi di pulau Kramaian ini, hanya; 1 Riadhotul Atfal (setingkat taman-kanak-kanak), 4 Sekolah Dasar, 2 Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), dan 1 Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan di pulau Kramaian tak ada SMA atau sederajatnya. Pada semua sekolah itu kami meminta waktu selama kurang-lebih dua jam dengan materi yang sebisa mungkin menyenangkan mereka tanpa mengurangi esensi pendidikan di dalamnya, seperti; merangsang mereka berwawasan kebangsaan, menumbuhkan minat siswa-siswi terhadap ilmu pengetahuan, pengembangan diri dengan berbagai cita-cita yang bisa dicapai, atau sekedar dengan bermain bola, kuis dan permainan-permainan lain. Lalu tak lupa kami pun menyalurkan buku bantuan dari teman-teman yang sudah menyumbangkan sebelum kegiatan ini berlangsung pada lembaga pendidikan tersebut. Namun ternyata, bila dibandingkan dengan pengalaman yang kami dapat selama di sana, apa yang kami berikan ini tampaknya tak berarti apa-apa. Bukan bermaksud merendahkan diri dan teman-teman lain yang telah berusaha keras memberikan yang terbaik di Pulau Kramaian, apa mau dikata begitulah kenyataannya.
berada di sekolah-sekolah
Seperti malam itu, hari ke tujuh selepas kami berangkat dari tanjung perak, sehabis tarawih pak Anhar dan mas Ata (anak dari pak Herman, red) dengan semangat mengajak kami untuk menangkap ikan, “ayo.. kita tombak bale (ikan, red)!” Pak Anhar yang telah bersiap dan membawa parang mengajak kami. “Malam begini lautnya surut dan ikan sedang tidur,” lanjutnya. Dan kami heran bagaimana ikan itu tidur sementara matanya tak kelilipan air laut! Sudahlah, tak penting dibahas. Dengan tombak sepanjang ±180 cm dan mata tombak bersegi berupa 3 besi yang tajam lalu dibantu penerangannya oleh senter atau headlamp, semua laki-laki (karena menurut adat setempat wanita tidak baik ikut menombak malam hari, red) dari tim pulau Kramaian berangkat menuju daerah intertidal yang masih tergenangi air tempat ikan bersembunyi dan tidur.
Dengan perlahan-lahan menjejakan kaki di air yang hanya se-matakaki agar tak mengganggu ikan yang sedang terlelap itu kami berburu. Baru saja dimulai sudah terdengar suara lirih “nah..” atau “ya..” dari pak Anhar, mas Ata atau seorang anak remaja tetangga pak Kades saat mereka dengan lihai menombak ikan dalam berbagai jenis, kepiting, udang dan lain-lain yang bersembunyi di rumpur-rumput laut atau di dekat batu karang, lalu kemudian hasil tangkapan itu dimasukan ke 3 ember atau 1 wadah jaring yang kami bawa. Wow.. tak terasa dalam waktu 2 jam saja wadah-wadah yang kami bawa sudah hampir penuh, sedangkan kami para amatir masing-masing hanya menombak ikan atau lainnya bisa dihitung dengan jari. Kelihaian mereka juga bukan hanya dalam menombak, tapi juga dalam menghindari bahaya yang ada di sana. Seperti peringatan mas Ata, “awas ikan-ikan itu bisa mengerubung dan menggigiti kulit sampai berdarah!” Seraya menunjuk kerumunan ikan-ikan kecil berwarna hitam yang tak lebih besar dari jempol, ikan-ikan kecil keparat itu! Berbahaya! Kami benar-benar tak habis pikir. Atau, “Tuh.. tuh.. ikan pari! Awas kena buntutnya bisa bengkak.” Ujar pak Anhar menunjuk seekor ikan yang seperti layang-layang berbuntut. Dilain waktu mereka memperingatkan, “lihat.. ubur-ubur transparan berwarna ungu, dia bisa menyengat!” Bahaya kawan.. tak kenal laut, kita bisa dalam bahaya bermain-main di laut.
Sampan dan perangkap ikan
Hampir semua wadah terisi penuh ketika kami kembali ke rumah pak Kades sepulang menombak. Ternyata semua anggota tim yang perempuan belum tidur, mereka penasaran dengan hasil tangkapan atau lebih tepatnya penasaran dengan cerita kami ketika berburu menombak ikan di laut karena mereka tak merasakannya. Selesai bercerita kami mulai membersihkan ikan, kepiting, udang dan lain-lainnya untuk kemudian kami goreng atau kami bakar sebagai menu tambahan sahur kami.
Kami pernah menjelajah dan bermain di pulau kambing, pulau kecil di sebelah timur pulau Kramaian, pulau itu berukuran ± 150×150 meter yang memiliki mulut gua yang entah menuju ke mana. Titik koordinat mulut gua di pulau kambing itu: S 05° 06′ 10.8″ E 114° 35′ 44.3″. Setelah puas menjelajah dan bermain di pulau Kambing, kami pun diajak menuju tempat pertemuan 2 arus laut yang membentuk daratan kecil berbentuk C, titik koordinatnya: S 05° 05′ 54.5″ E 114° 35′ 09.8″, tempat itu sebetulnya belum bernama tapi pak Syahril menyebutnya ‘Jembatan C’ atau kami tambahkan jadi “Jembatan Cinta”, karena disitu.. cinta.. tempat.. dan.. entahlah! Sangat sulit menjelaskan tentang hal tersebut.
Berada di mulut gua pulau Kambing
Memang sebagian besar waktu kami di pulau Kramaian lebih sering dihabiskan dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat dibanding dengan acara di lembaga pendidikan. Seperti yang kami sampaikan tadi, waktu kami di sekolah hanya terbatas dan lembaga pendidikan resmi di sini pun sedikit. Banyak panganan daerah kami dapat di sana, seperti: pisaulame (kue berbahan dasar parutan singkong yang di atasnya diberi gula merah, red), otti (pisang, red) goreng khas bugis, atau makanan asing lain pada saat kami buka puasa bersama di beberapa rumah penduduk. Dan kami pun pernah juga mengundang warga berbuka puasa bersama dengan panganan yang biasa kami buat di daerah masing-masing. Sering kita habiskan waktu bersama di waktu malam, waktu lampu telah mati (tolong jangan berpikir negatif! red). Berbicara banyak hal, kami dan beberapa penduduk Kramaian. Dari mulai cerita bahwa sebagian besar rumah penduduk Kramaian yang notabene berumah panggung itu dapat dibongkar dan dipindahkan. Tunas kelapa yang disimpan selama ±2 tahun di dekat sumur bisa mulai ditanam pada musim angin Barat dan lain sebagainya.
BUKBER bersama warga Kramaian
RA, MI dan MTs di dusun Sumber Hidup
Tapi malam terakhir, malam sebelum keesokan harinya kami kembali berlayar pulang yang membuat kami khawatir. Saat itu hanya beberapa orang yang masih terbangun dan mengobrol. Pak Anhar seorang penduduk pulau Kramaian yang paling sering menemani kami selain penghuni rumah pak Kades berbicara. “Orang tua-tua bilang, Pulau Kramaian tinggal tunggu waktu kehancurannya saja.” Kami yang saat itu tengah berbaring kembali duduk menyimak. Banyak hal yang menjadi kendala dan berefek negatif bagi penduduk pulau Kramaian untuk tetap menetap di sana. Kami mengambil beberapa kesimpulan dari apa yang terjadi dan apa yang dibicarakan di pulau ini selain kendala akses ke pulau Kramaian yang susah.
Pertama, sebagai tim di bidang pendidikan. Kami mula-mula akan menyoroti beberapa hal yang menyangkut pendidikan di pulau ini. Guru PNS yang semestinya bertugas di pulau keramaian lebih sering tak ada di sana sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah tersebut. “Kadang 3 bulan sekali, kadang satu semester datang hanya satu kali,” begitu ujar seorang guru yang asli dari pulau Kramaian. Sedangkan sekolah di pulau Kramaian yang sebagian besar gurunya merupakan asli dari daerah Kramaian bukanlah PNS, hanya tanggung jawab morillah yang membuat mereka ingin terus mengajarkan anak-anak mereka ilmu pengetahuan agar mendapat pendidikan yang layak. Selain itu masalah fasilitas dan bangunan sekolah yang tidak memadai bahkan cenderung buruk bagi umumnya sekolah yang ada di pulau Kramaian jika dibandingkan dengan yang ada di kota besar. MTs (SMP sederajat, red) yang hanya satu dan SMA sederajat yang tidak ada sama sekali membuat jenjang pendidikan di pulau yang sulit diakses ini menjadi semakin suram, banyak yang ingin menempuh pendidikan lebih lanjut harus pula meninggalkan pulau ini, dan hanya 1 SMA yang ada di dekat situ yaitu di pulau Masalembo yang mesti di tempuh dengan 4 jam perjalanan menggunakan kapal laut.
Kedua adalah masalah listrik. Daya hidup listrik yang hanya maksimal 6 jam sehari, menurut kami berbanding terbalik dengan biaya yang harus dikeluarkan penduduk sebesar 100.000 rupiah / 3 lampu di sebuah rumah. Bahkan jika rumah itu mempunyai dan ingin menghidupkan televisi, mereka harus membayar lagi sebesar 50.000 rupiah. Memang hal itu dikarenakan pembangkit listrik di pulau Kramaian ini menggunakan mesin deasel, sehingga biaya penghidupan listrik memerlukan bahan bakar solar yang sulit didapat di daerah yang sulit diakses ini. Banyak solusi yang kita perbincangkan saat itu untuk menyasati masalah listrik di pulau Kramaian, seperti menggunakan tambahan mesin atau membeli alat yang mengkonversi tenaga matahari menjadi listrik atau membuat surat ke PLN sebagai pengelola listrik Negara. Namun karena kami semua memang bukan ahli di bidang tersebut, maka alangkah lebih baiknya bila ada yang berkesempatan membaca tulisan ini baik itu dari pihak yang peduli atau dari pihak Negara. Semoga bisa memberi solusi yang tepat untuk pulau Kramaian ini.
Tim Kramaian bersama pak Kades dan beberapa warga.
Dan masalah terakhir, masalah kompleks yang hampir menimpa seluruh sudut bumi sekarang ini. Masalah ini adalah masalah lingkungan, sumber daya alam dan pemanfaatan teknologi. Bisa anda bayangkan? Sebuah perusahaan besar yang memiliki armada besar dalam mengeruk lautan dengan kapalnya yang lengkap secara fasilitas, ada pendingin, ada lambung yang besar dan ada alat-alat penangkap ikan yang canggih serta efektif. Perusahaan ini adalah mereka yang menyediakan berbagai produk dari laut yang tersaji di supermarket bahkan mungkin ada salah satu produknya di rumah anda saat ini. Lalu apa kalian tahu? Agar kapal hebat ini memenuhi targetnya mengangkut berton-ton ikan, terkadang mereka juga menggunakan bom atau pukat harimau yang dapat menghancurkan karang-karang dan dasar laut kita. Lalu sering pula kapal-kapal seperti ini terlihat memasuki wilayah Kramaian yang memiliki teritorial untuk nelayan mereka sendiri sepanjang 17 mil dari pesisir pulau. Rumpon dari terumbu karang atau kapal-kapal karam yang menjadi rumah bagi banyak ikan sudah tak ada bila telah terjadi pengeboman atau pemakaian pukat harimau, yang berarti tak ada lagi ikan yang akan diam dan berbiak disitu, hingga penghasilan nelayan pulau Kramaian dari tahun ke tahun semakin menurun seiring semakin banyaknya penggunaan bom dan pukat harimau tersebut. Ada satu hal yang dapat mengurangi banyaknya kapal-kapal di luar Kramaian yang masuk ke perairan Pulau ini yaitu dengan adanya polisi air. Polisi air menurut warga bisa ada bila dermaga baru yang lebih baik dapat segera dibangun di kesyahbandaran Kramaian. Namun lagi-lagi hal itu mendapat hambatan karena adanya perselisihan antara pemerintah, perusahaan pemenang tender untuk pembangunan dan pekerja yang membangun dermaga baru ini, sehingga selesainya dermaga tersebut terus ditunda.
Satu lagi buah pikir ketika aku kembali berlayar pulang menuju pulau Jawa. Seperti prajurit dulu dibandingkan dengan tentara saat ini, siapa lebih unggul? Secara siasat perang, fisik, mental, ketahanan, kekuatan barangkali prajurit dulu tak kalah daripada tentara saat ini. Tapi pemakaian teknologi, senjata dan hal-hal modern yang padahal entah itu baik atau tidak terhadap lingkungan kita, jelas lebih unggul tentara saat ini. Orang laut, orang pulau, orang pesisir dan orang-orang yang hidupnya berada di perahu, sudah barangtentu menganggap perahu itu seperti rumah dan laut seperti halaman. Ada tempat memasak, ada tempat menyimpan makanan, tempat untuk tidur. Tempat menempuh tujuan dan menunggu hari esok saat badai atau saat tenang. Mereka mengelola apa yang diberikan laut sebagai sumber hidup, menghidupi. Mereka lebih dari tahu cara menangkap, mengolah ikan menjadi panganan yang bermacam-macam. Namun mereka jarang yang benar-benar memiliki sebuah wadah, yang menjamin hasil mereka, yang mendistribusikan hasil mereka yang bermacam-macam itu, memberi mereka akses untuk hidup berdasarkan kepentingan bersama, sejahtera bersama. Negara dalam hal ini bertujuan demikian, seharusnya. Adakah negara ini begitu ramah pada mereka? Sebagaimana ramahnya Kramaian?
peta dalam jurnal. tanpa skala tanpa alat, hanya kira-kira.
NB: Terima kasih kepada pak Kepala Desa dan masyarakat pulau Kramaian, Kel. ENJ Surabaya 2015, MAPENTA dan orang-orang yang tak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.